Rabu, 08 Desember 2010

Sebuah Catatan

Qaul Sahabi 
1. Pengertian Qaul Sahabi Dalam pandangan Muhammad Ajjaj Al-Khatib, sahabi atau sahabat adalah setiap orang Islam yang hidup bergaul dengan Nabi saw. dalam waktu yang cukup lama dan menimba ilmu darinya, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Abdullag bin Umar.35 Mereka adalah orang-orang yang berjasa menyampaikan ajaran Islam yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah dari Nabi saw. kepada generasi sesudahnya. Seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi pada masa mereka, setelah wafat Nabi saw. banyak sahabat yang tampil memberikan pendapat (fatwa) dalam menjawab berbagai masalah hukum yang muncul. Sebagian ahli ushul fiqh menyebut pendapat sahabat dengan qaul sahabi (perkataan/pendapat sahabat). Sebagian laim menamakannya dengan fatwa sahabi. Sementara itu, banyak pula paa ahli fikih menyebutnya dengan mazhab sahabi.36
2. Kehujatan Qaul Sahabi Dalam menentukan kehujatan atau kekuatan mazhab sahabi sebagai dalil hukum terkait dengan bentuk dan asal fatwa sahabat. Dalam hal ini, pendapat ahli ushul fiqh tentang bentuk fatwa sahabat dapat dijadikan sebagai tolak ukur menentukan hal itu. Menurut Abdul Karim Zaidan, fatwa atau pendapat sahabat dapat dibagi kepada empat macam, 37yaitu :
1. Fatwa sahabat yang bukan berasal dari hasil ijtihadnya. Para ulama tidak berbeda pendapat dalam menjadikan fatwa sahabat seperti ini sebagai hujah dalam menetapkan hukum bagi generasi sesudahnya. Misalnya, fatwa ibnu Mas’ud tentang batas minimal waktu haid tida hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa sahabat seperti ini, diduga kuat bukan hasil ijtihad sahabat, tetapi mereka terima langsung dari Nabi saw.
2. fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka yang dikenal dengan ijma’ sahabat. Fatwa sahabat seperti ini merupakan hujjah dan mengikat bagi generasi sesudahnya.
3. fatwa sahabat secara individu tidak mengikat sahabat yang lain. Oleh sebab itu, tidak jarang para mujtahid di kalangan sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah.
4. fatwa sahabat secara individu yang berasal dari hasil ijtihadnya dan tidak terdapat kesepakatan sahabat tentangnya. Mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama, apakah fatwa tersebut mengikat generasi sesudahnya atau tidak. Dalam meresponi hal seperti ini, setidaknya berkembang beberapa pendapat dikalangan ulama. Kalangan Hanafiyah, Imam Malik, Syafi’i dan pendapat terkuat dari Ahmad bin Hanbal menetapkan fatwa sahabat yang demikian dijadikan hujjah dan pegangan bagi generasi sesudahnya. Sementara kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah berpendirian bahwa fatwa sahabat tidak mengikat bagi generasi sesudah mereka. Oleh karena itu, fatwa sahabi tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Sadd al Zari'ah 1. Pengertian Sadd al-Zariah Secara bahasa kata sadd berarti menutup dan al- zariah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Jadi secara istilah, sadd al-zari’ah adalah menutup jalan yang mencapai kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh, sadd al-zari’ah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.33 2. kedudukan sadd al-zari’ah sebagai Hujjah Ulama berbeda pendapat dalam menjadikan sadd al-zari’ah sebagai hujjah atau dalil menetapkan hukum. Kalangan Malikiyah dan Hanabilah menerima sadd al-zari’ah sebagai dalil menetapkan hukum. Untuk memperkuat pendapat ini, mereka mengemukan firman Allah surat Al An’am ayat 108 : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Ayat ini melarang orang Islam memaki dan menghina sembahan orang-orang musyrik karena dikhawatirkan mereka membalas dengan memai dan menghina Allah. Larangan memaki sembahan orang musyrik adalah sadd al-zari’ah (menutup jalan) agar mereka tidak memaki dan menghina Allah. Sementara kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syi’af hanya menerima sadd al-zari’ah dalam masalah tertentu dan mereka tidak menjadikannya sebagai dalil dalam masalah-masalah lain. Misalnya, Imam Syafi’i, membolehkan seseorang karena uzur, seperti sakit dan musafir meninggalkan shalat jum’at dan menggantikannya dengan shalat zuhur. Namun orang tersebut hendaklah melaksanakan shalat zuhur secara diam-diam dan tersembunyi supaya tidak menimbulkan aib dan fitnah dengan tuduhan sengaja meninggalkan shalat jum’at. Pendapat ini dirumuskan atas dasar prinsip sadd al-zari’ah Sya'u man Qoblana
1. Pengertian Syar’u man Qablana Syar’u man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang berkaitan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Menurut Abu Zahrah, syariat Samawi pada dasarnya satu, sebagaimana yang diisyaratkan Allah dalam surat al-Syura ayat 13 : Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). Ayat ini menegaskan bahwa syari’at samawai berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. Persoalannya, apakah hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada paa Nabi umat sebelum Islam berlaku pula bagi umat Muhammad. Mengingat pentingnya hal ini ahli ushul fiqh melakukan kajian khusus tentang syari’at sebelum Islam tersebut.
2. Kedudukan syar’u man Qablana Ahli ushul fiqh sepakat menetapkan syariat pada nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al Quran dan Sunnah Nabi saw. tidak berlaku bagi uma Islam. Kedatangan syari’at Islam yang dibawa nabi Muhammad saw. memang untuk membatalkan keberlakukan syariat-syariat sebelumnya. Hal ini juga berlaku bagi syari’at para Nabi terdahulu yang tercantum dalam Al Quran dan Sunnah tetapi ada dalil yang membatalkannya (nasakh)¸maka para ahli ushul sepakat menetapkan bukan termasuk syari’at bagi umat Islam.32 Ahli Ushul Fiqh sepakat menetapkan syari’at sebelum Islam yang tercantum dalam Al Quran dan Sunnah yang shahih berlaku bag umat Islam apabila ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Muhammad. Namun, pemberlakuannya bukan karena kedudukan sebagai syari’at sebelum Islam, tetapi karena ditetapkan Al Quran. Misalnya, kewajiban puasa Ramadhan bagi umat Islam yang juga terdapat dalam syari’at sebelum Islam.
Istishab 
1. Pengertian Istishab Kata istishab secara bahasa mengandung arti meminta ikut serta secara terus menerus. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H), tokoh fikih mazhab Hanbali istishab dalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang merubah kedudukannya.29 umpamanya, seseorang yang telah meyakini secara penuh bahwa ia telah berwudhu, dianggap tetap berwudhu’ selama belum ada yang membuktikan batal wudhu’nya. Sejalan dengan itu, keraguan seseorang tentang batak wudhu’ tanpa bukti yang nyata tidak bisa merubah kedudukan hukum wudhunya. Istishab bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi bersandar pada dalil-dalil yang lain. Ia merupakan metode istinbat hukum yang berlandaskan pada dallil-dalil syara’ (nash) atau bersandar pada dalil akal. Atas dasar itu, sebagian ulama mengatakan pantas dan boleh dilakukan tarjih terhadap istishab.2. Pembagian Istishab Menurut Abu Zahrah,istishab terbagi kepada empat macam30,yaitu :
1. Istishab al-ibahah al-ashliyah. Istishab ini berlandasan pada prinsip bahwa hukum asalh sesuatu itu boleh (mubah).
2. Istishab al-baraah al-ashliyah. Adapun yang dimaksud dengan istishab ini adalah memberlakukan suatu ketentuan bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan taklif (beban) hukum sampai ada dalil yang merubah statusnya itu. Dengan kata lain, seseorang bebas dari tanggung jawab dan kesalahan selama tidak ada bukti yang merubah statusnya itu. Misalnya, seorang tertuduh bebas dari segala tuntutan sampai ada bukti nyata tentang tuntutan tersebut.
3. Istishab al-hukm, dalam pandangan ahli ushul fiqh, istishab ini adalah tetap berlakunya status hukum yang telah ada selama tidak ada dalil yang merubah. Sejalan dengan prinsip ini, hukum boleh atau terlarang tentang sesuatu tetap berlaku terus demikian sampai ada dalil yang mengharamkan untuk mubah (boleh) atau membolehkan untuk yang haram.31 contoh istishab ini dapat dilihat dalam masalah pemilikan rumah. Seseorang yang memiliki sebuah rumah atau harta bergerak seperti mobil ia tetap dianggap sebagai pemilik rumah dan mobilnya selama tidak ada bukti yang menunjukkan ada peristiwa yang merubah status hukumnya, seperti melalui jual beli atau telah dihibahkannya kepada orang lain.
4. Istishab al-Wasf. Menurut kalangan ushuliyun, istishab ini adalah menetapkan sifat yang telah ada sebelumnya sampai bukti yang merubahnya. Umpamanya, sifat hidup yang dimiliki orang yang hilang tetap berlaku bagi dirinya sampai ada bukti yang menunjukkan orang tersebut telah meninggal. Begitupula menetapkan air suci lagi mensucikan tetap berlaku selama tidak ada bukti yang merubah status hukumnya. Contoh lain, seseorang yang yakin telah berwudhu’ tetap dinyatakan berwudhu’ sampai ada bukti tentang batal wudhu’nya.
3. Kedudukan Istishab sebagai metode Istinhat Hukum Para ulama berbeda pendapat tentang istishab sebagai dalil untuk mengintinbatkan hukum terhadap suatu peristiwa yang tidak dijelaskan dalil syara’. Kalangan mutakallimin memandang istishab tidak dapat dijadikan sebagai dalil karena hukum yang ditetapkan pada masa lalu harus didasarkan pada dalil. Begitupula untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan akan datang harus pula berdasarkan dalil. Dalam konteks ini istishab bukanlah dalil sehingga menetapkan hukum masa lalu tetaplah berlaku terus untuk masa mendatang berlandaskan istishab masa dengan menetapkan hukum tanpa dalil. Ulama mazhab Hanafi muta’akhirin menerima istishab sebagai hujah untuk menetapkan hukum yang ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang. Namun, istishab tidak dapat digunakan untuk menetapkan hukum yang akan ada. Berdasarkan penelitian mujtahid, suatu hukum yang telah berlaku, lalu tidak ada dalil yang membatalkan, mujtahid harus berpegang pada hukum yang berlaku. Dalam kaitan ini, istishab hanya dapat dipakai untuk mempertahankan hukum yang telah ada selama tidak ada yang membatalkannya. Ia tidak dapat dipakai untuk menetapkan hukum yang baru. Kalangan Malikiyah, Syafi’iyah Hanabilah, Zahiriyah dan Syi’ah menjadikan istishab sebagai dalil menetapkan hukum yang telah ada selama tidak ada dalil yang merubahnya. Menurut mereka, sesuatu yang ditetapkan pada masa lalu selama tidak ada yang merubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni maka hukum itu tetap berlaku karma diduga keras belum ada perubahan terhadapnya. Disamping itu, mereka memperkuat pendapatnya dengan ijma’ ulama yang menerima berbagai hukum yang dirumuskan melalui kaidah istishab. Kedudukan Url sebagai istinbat Hukum Mayoritas ulama sepakat dan menerima Urf sebagai dalil dalam mengistinbatkan hukum, selama ia merupakan Urf shahih dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Lebih jauh, Syatibi menilai semua mazhab fikih menerima dan menjadikan Urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum ketika tidak ada nash menjelaskan hukum yang muncul di masyarakat. Bentuk2
Url 
Urf dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu urf shahih dan fasid.26
1. Urf sahih adalah suatu kebiasaan yang telah dikenal secara baik dalam masyarakat dan kebiasaan itu sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam.
2. Urf fasid ialah suatu kebiasaan yang telah berjalan dalam masyarakat, tetapi kebiasaan itu bertentangan dengan ajaran Islam, seperti perbuatan mungkar yang telah menjadi tradisi pada sebagian masyarakat.
Pengertian Urf 
Urf secara bahasa berarti sesuatu yang telah dikenal dan dipandang baik serta dapat diterima akal sehat. Urf yang bermakna berbuat baik dapat ditemukan dalam firman Allah surat Al-A’raf ayat 199 : Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. Dalam kajian ushul fiqh, urf adalah suatu kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga tentram. Kebiasaan yang telah berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan, baik yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Dalam konteks ini, istilah urf sama dan semakna dengan istilah al-‘adah (adat istiadat).24 Sebagian ahli tidak setuju menyamkaan antara istilah adat dan urf. Dari sisi maknanya, adat mengandung arti perulangan. Karenanya, segala sesuatu yang baru dilakukan satu kali dinamakan adat. Namun, berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan baru disebut adat tidak pula ada ukuran dan banyaknya. Sementara, sesuatu yang dikatana urf tidak dilihat dari sisi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi lebih dilihat dari sisi bahwa perbuatan itu telah dikenal, diakui dan diterima orang banyak.25 Misalnya, kebiasaan masyarakat melakukan berbagai aktivitas jual beli, terutama disupermarket, baik dalam jumlah besar maupun kecil, tanpa mengucapkan ijab Kabul secara jelas yang seharusnya diucapkan sebagaimana ditentukan syariat.
Maslahah al Mussalah 
1. Pengertian Maslahah al-Mursalah Kata al-Muslahah semakna dan setimbangan dengan kata al-manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Al-Maslahah merupakan bentuk mufrad yang jamaknya al-Mashalih. Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa al-Maslahah meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik dari cara mengambil atau melakukan suatu tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala bentuk yang menimbulkan kemudhratan dan kesulitan.15 Menurut al-Buthi, al-Maslahah adalah : Al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syari’ untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu di antaranya.16 Dari defenisi ini tampak yang menjadi tolak ukur al-Maslahah adalah tujuan-tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syari’ meskipun kelihatan bertentangan dengan tujuan manusia yang seringkali berlandaskan pada hawa nafsu semata.
2. Tingkatan Maslahah Pada ahli Ushul Fiqh membagi maslahah kepada tiga tingkatan:
a. Al-Maslahah ad-Dharuriyyat Al Maslahah ad-Dharuriyyat adalah suatu bentuk kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan ini sangat penting, karena apabila luput dalam kehidupan manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan itu meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta.
b. Al-Maslahah al-Hajiyat Al-Maslahah al-Hajiyat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangkan kesulitan yang dihadapi. Termasuk kemaslahatan ini semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya. Misalnya, keringanan berupa meringkas shalat (qashar) dan terbuka puasa bagi orang yang musafir.
c. Al-Maslahah al-Tahsiniyat Al-Maslahah al-Tahsiniyat adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap dan keluasan terhadap kemaslahatan dhariyat dan hajiyat. Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti. Seandainya kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam kehiduan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian, kemaslahatan ini tetap penting dan dibutuhkan manusia. Misalnya, keharusan bersuci dalam ibadat, menutup aurat dan memakai pakaian indah dan bagus.
3. Pendapat tentang al-Maslahah al – Mursalah Sebagian ulama tidak menjadikan al-Maslahah al – Mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum dengan beberapa alasan :
1. Penggunaan al-Maslahah al – Mursalah akan membuka peluang bagi penguasa dan para hakim untuk menetapkan hukum sesuai keinginan dan hawa nafsu mereka.17
2. Bahwa syari’at Islam memelihara semua kemaslahatan manusia melalui ketentuan yang terdapat dalam nash dan hukum yang ditunjukkan oleh qiyas. Syari’ tidak membiarkan manusia mengalami kesulitan dalam kehidupannya dan tidak satupun kemaslahatan manusia melainkan ada dalil yang ditetapkan syari’ untuk merealiasasikannya. Atas dasar ini, semua kemaslahatan yang tidak didukung syari’ melalui dalil nash untuk mewujudkannya, maka bukan termasuk kemaslahatans ejati, kemaslahatan yang tidak didukung syari’ melalui dalil nash untuk mewujudkannya, maka bukan termasuk kemaslahatan sejati. Kemaslahatan seperti ini hanya didasarkan pada praduga semata yang tidak boleh dijadikan sebagai penetapan tasyi’i.18
3. Pada dasarnya al-Maslahah al-Mursalah berada di antara dua posisi, yaitu maslahat yang dilarang syar’i mengambilnya dan maslahat yang diperintahkan syar’i mengambilnya. Apabila memang boleh memakai al-Maslahah al-Mursalah yang terkait dengan maslahat (mu’tabarah) yang diperintahkan syar’i mengambilnya, tentu boleh pula memakai al-Maslahah al-Mursalah yang terkait dengan maslahat (mulghah) yang dilarang syar’i mengambilnya. Mengingat posisi al-Maslahah al-Mursalah seperti ini, maka ia tidak boleh dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum.19
4. Mengambil al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum akan merusak kesatuan dan keumuman tasyi’ Islam. Dengan al-Maslahah al-Mursalah akan terjadi perbedaan hukum karena perbedaan situasi, kondisi dan ornag seiring dengan pergantian maslahat setipa waktunya.20 Ulama yang tidak menerima al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil menetapkan hukum di antaranya ulama Hanafiyah. Sebagian ulama menilai Imam Syafi’i termasuk ulama yang menolak penggunaan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil karena ketegasannya menolak istihsan dalam pandangan Imam Syafi’i didasarkan atas maslahah.21 Sementara itu sebagian ulama menerima dan menggunakan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil menetapkan hukum. Di antara ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Imam Malik dan Imam Ahmad. Penggunaan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil didasarkan pada sejumlah alasan berikut :22
1. Bahwa syari’at Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Hal ini dapat diamati dari sejumlah firman Allah di antaranya surat Al-Maidah ayat 5-6 yang artinya : Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa semua perintah agama bukan dimaksudkan untuk menyulitkan umat Islam yang melaksanakannya, seperti masalah wudhu’ dan yang membatalkan dalam ayat ini, tetapi ditujukan untuk kemaslahatan orang yang melaksanakannya. Begitupula ibadah yang sering diperintahkan Allah untuk dilaksanakan setiap mukallaf bertujuan mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupannya Demikian pula dengan kebolehan bagi orang yang berada dalam keadaan darurat atau terpaksa mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan, seperti dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 4 berikut: Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. Kebolehan memakan dan mengkonsumsi sesuatu yang haram dalam batas tertentu sebagai upaya Islam mewujudkan dalam bentuk pemeliharaan jiwa.
2. Bahwa kemaslahatan manusia yang berhubungan dengan persoalan duniawi selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia tersebut. Apabila kemaslahatan ini tidak diperhatikan dan diwujdukan tentu manusia akan mengamali kesulitan dalam kehidupannya. Karena itu, Islam perlu memberikan perhatian terhadap berbagai kemaslahatan manusia tersebut dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam syariat Islam.
3. Bahwa syari’ menjelaskan alasan (‘illat) berbagai hukum ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum tertentu. Apabila hal ini dapat diterima, maka ketentaun seperti ini juga berlaku bagi hukum yang ditetapkan berdasarkan al-Maslahah al-Mursalah . Misalnya, firman Allah surat Al-Maidah ayat 91 yang artinya : Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ‘Illat larangan meminum khamar dan judi karena menimbulkan kemudharatan kepada manusia seperti menimbulkan permusuhan dan kebencian, menghalangi manusia dari mengingat Allah dan lalai melakukan shalat, maka meninggalkan perbuatan itu (khamar dan judi) merupakan kemaslahatan bagi manusia.
4. Dalam sejarah tasyri’ Islam terbukti sejak masa sahabat dan generasi sesudah mereka ternyata menggunakan maslahat rajihah (kuat) untuk menetapkan suatu hukum peristiwa. Padahal maslahat yang mereka jadiakan dasar untuk penetapan hukum tidak didukung oleh dalil yang memerintahkan untuk mewujudkannya. Praktek seperti ini tidak dibantah oleh seorangpun sahabat. Ini dapat dikatakan sebagai Ijma’ sahabat untuk menggunakan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum. 4. Syarat Berhujjah dengan al-Maslahah al-Mursalah Ulama yang menerima al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum menetapkan tiga syarat :
1. Bahwa kemaslahatan tersebut bersifat hakiki, bukan berdasarkan oraduaga semata. Tegasnya maslahat ini dapat diterima secara logika keberadaannya.
2. Kemaslahatan itu sejalan dengan maqasid al-syari’ dan tidak bertentangan dengan nash atau dalil-dalil qath’i. Dengan kata lain, kemaslahatan tersebut dengan kemaslahatan yang telah ditetapkan syari’.
3. Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan bagi individu tertentu atau sejumlah individu. Ini mengingat bahwa syariat Islam itu berlaku bagi semua manusia.
5. Beberapa Contoh Hukum Yang didasarkan al-Maslahah al-Mursalah Banyak hukum Islam yang dirumuskan berdasarkan maslahat mulai dari periode sahabat, tabi’in, tabi’-tabi’in sampai periode imam-imam mazhab. Di antara contohnya adalah :
1. Abu Bakar Siddiq melalui pendekatan al-Maslahah al-Mursalah menghimpun lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran yang berserakan menjadi suatu mushaf.
2. Dengan berpegang pada prinsip al-Maslahah al-Mursalah Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab menjadi khalifah kedua setelah wafatnya.
3. Berdasarkan pertimbangan al-Maslahah al-Mursalah pula Umar bin Khattab membuat undang-undang perpajakan, mengkondifikasikan buku-buku, membangun kota-kota, membuat penjara, dan menerapkan hukuman ta’zir dengan berbagai macam sanksi
4. Melalui pertimbangan al-Maslahah al-Mursalah Usman bin Affan menghimpun umat Islam untuk berpedoman kepada satu mushaf.
5. Dengan berpedoman kepada al-Maslahah al-Mursalah, Muaz bin Jabal mengambil baju buatan Yaman sebagai pengganti dari makanan dalam zakat buah-buahan.
6. Atas dasar al-Maslahah al-Mursalah, para fuqaha mazhab Hanafi dan Syafi’i serta sekelompok ulam Maliki membolehkan membelah perut seorang perempuan yang telah meninggal guna mengeluarkan janinnya, jika ada dugaan kuat bahwa janin tersebut keluar akan hidup. Istihsan Secara bahasa, istihsan berasal dari kata al-husna yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti mengganggap sesuatu baik. Dalam pengertian yang hampir sama, al-Sarakhi memaknai istihsan sebagai : Berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang diperhitungkan untuk dilaksanakan. Sedangkan defenisi istihsan secara istilah dapat dikategorikan kepada 2 (dua) bentuk. Pertama, defenisi istihsan yang dikemukakan Abu Hasan al-Kharkhi sebagaimana dikutip Mustafa Ahmad Zarqa, berikut : 12 Perpindahan mujtahid dalam suatu masalah dari hukum yang serupa dengannya kepada hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat menghendaki perpindahan itu. Kedua, defenisi istihsan yang dikemukakan Abdul karim Zaidan, yaitu 13 Istihsan ialah perpindahan dari keharusan menggunakan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan qiyas dengan dalil yang lebih kuat. Dari defenisi di atas, diketahui ada 2 (dua) bentuk istihsan, yaitu istihsan qiyasi sebagaimana yang terdapat dalam defenisi Ahmad Zarqa dan bagian awal dari defenisi yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan. Kemudian istihsan istihna’i yang dapat ditemukan pada bagian akhir defenisi Abdul Karim Zaidan. Ihtihsan qiyasa terjadi pada suatu kasus yang mungkin diterapkan padanya salah satu bentuk qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Pada dasarnya, bila kejelasan ‘illat yang dijadikan standar, maka qiyas jali lebih tepat untuk didahulukan atas qiyas khafi. Namun, bila seorang mujtahid memandang dari qiyas jali, maka qiyas khafi boleh digunakan, meskipun dengan meninggalkan qiyas jali. Misalnya, berdasarkan qiyas jali, hak pengairan yang berada pada tanah pertanian yang diwakafkan tidak dianggap ikut diwakafkan kecuali jika ditegaskan dalam ikrar wakaf. Ini diqiyaskan dengan jual beli yang sama-sama menghilangkan milik. Bolehnya akad istisna’ didasarkan pada istihsan. Misalnya, seorang pembeli memesan barang kepada seseorang atau penjual barang dengan spesifikasi tertentu. Lalu pembuat barang atau penjualnya menyatakan kesanggupan untuk memenuhi pesanan yang diterima. Menurut kalangan hanafiah, melalui pernyataan kedua belah pihak seperti itu berimplikasi telah terjadi jual beli secara sah. Berdasarkan qiyas, jual beli istisna’ seperti itu tidak boleh dilakukan karena barang yang menjadi objek transaksi tidak ada pada saat transaksi berlangsung. Namun, melalui istihsan jual beli secara istisna’ dibolehkan karena memang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan. Bahkan, boleh menggunakan akad istisna’ ini didukung oleh Ijma’ ulama.
Metode Ijtihad 
1. Istihsan
2. Maslahah al-Mursalah
3. Urf 4. Istishab
5. Syar’u Qablana
6. Sadd al-azri’ah
7. Qaul Sahabi Tingkatan-tingkatan Mujtahid
Mujtahid terbagi kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi at-tarjih .
1. Mujtahid Mustaqil (independen) adalah tingkat tertinggi, disebut juga sebagai al-mujtahid fi al-Syar’i, atau Mujtahid Mutlaq. Untuk sampai ke tingkat ini seseorang harus memenuhi syarat-syarat tersebut. Mereka disebut mujtahid mustaqil, yang berarti independen, karena mereka terbebas dari bertaqlid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istinbat (ushul fiqh) maupun dalam furu’ (fikih hasil ijtihad). Mereka sendiri mempunyai metode istinbat, dan mereka sendirilah yang menerapkan metode instinbat itu dalam berijtihad untuk membentuk hukum fikig. Contohnya, para imam mujtahid yang empat orang, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh Abu Hanifah. Akan tetapi, mereka bebas dalam berijtihad, tanpa terikat dengan seorang mustaqil. Menurut Ibn ‘Abidin (w. 1252 H), seorang pakar fikih mashab Hanafi, seperti dikutip Satria Efendi, termasuk dalam kelompok ini murid-murid Abu Hanifah, seperti Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Qadhi Abu Yusuf. Dari kalangan Syafi’iyah antara lain adalah al-Muzanni, dan dari kalangan Malikiyah antara lain Abdurrahman bin al-Qasim, dan Abdullah bin wahhab. Mujtahid seperti ini dinisbahkan kepada salah seorang mujtahid mustaqil karena memakai metode istinbatnya.
3. Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahd yang dalam Ushul Fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujahid tertentu. Mereka disebut mujtahid karena mereka berijtihad mengistibatkan hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. Mereka tidak lagi melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang sudah ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fikhih mazhabnya. Misalnya, Abu Al-Hasan karkhi (260 H-340H), Abu ja’far at – Thahawi (230 -321 H) dan al-Hasan bin Ziyad (w.204 H) dari kalangan hanafiyah, Muhammad bin Abdullah al-Abhari (289 H-375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid al-Asfrini (344 H-406 H) dari kalangan syafi’iyah.
4. Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan mengistinbatkan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya. Dengan metode ini, ia sanggup mengemukakan di mana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya. Hukum Berijtihad Al-Toyyib Khuderi al-Syayid, seorang ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir berpendapat bahwa bilamana syarat-syarat mujtahid tersebut di atas telah cukup pada diri seseorang, hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu ‘ain, bisa fardhu kifayah, bisa mandub (sunnat) dan bisa pula haram. Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ‘ain (wajib dilakukan oleh seriap orang yang mencukupi syarat-syarat di atas) bilaman terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Hasil ijtihadnya itu wajib diamalkannya. Ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardhu ‘ain bilamana seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang menghendaki segera pendapat jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Melakukan ijtihad menjadi wajib kifayah jika disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bilamana satu di antara mereka melakukan ijtihad, berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid yang lainnya. Berijtihad hukumnya sunat apabila dalam 2 (dua) hal :
1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan Fiqh iftiradhi (fikih pengandian).
2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang. Sedangkan berijtihad haram hukumnya dalam dua hal, yakni :
1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash secara tegas (qath’i) baik berupa ayat atau hadis Rasullullah atau hasil ijtihad itu menyalahi ‘ijma. Ijtihad hanya dibolehkan pada hal-hal yang selain itu.
2. Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seperti yang telah dijelaskan pada bagian syarat-syarat seorang mujtahd di atas. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya tidak akan menemukan kebenaran, tetapi bisa menyesatkan dan berarti berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu dan hukumnya adalah haram. Fungsi Ijtihad Imam syafi’I ra. (150-204 H)dalam kitabnya Ar-risalah pernah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.8 Menurut Satria Efendi, pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.9 Selanjutnya Satria menjelaskan bahwa ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya :
1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.
2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak terbatas jumlahnya Dasar Hukum Ijtihad Banyak alasan yang membolehkan melakukan ijtihad, diantaranya :
1. Surat An-Nisa’ ayat 59 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Menurut Ali Hasbalah yang dikutip Satria Efendi M. Zein, perintah mengembalikan sesuatu yang diperdebatkan kedalam Al-Quran dan Sunnayh adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang sisebutkan dalam Al-Quran karena persamaan ‘illatnya seperti dalam praktek qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.
2. Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal ketika ia diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad yang berlandaskan pada Al-Quran dan Sunnah Pengertian Ijtihad Kata ijtihad merupakan derivatif dari kata jahdu, berarti mengerahkan segala kemampuan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Menurut al-Farra, kata al-juhdu berarti kemampuan dan kata al-jahdu berarti kesulitan.
1 dalam pengertian umum ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan energi sampai dalam batas maksimal dalam memahami suatu persoalan.
2 Adapun pengetian ijdtihad secara istilah sebagaimana diungkapkan al-ghazali adalah.
3 Ijtihad pengerahan segala kemampuan oleh seorang mujtahid dalam mendapatkan ilmu tentang hukum syara’. Dari defenisi ini dipahami bahwa dalam ijtihad itu seorang mujtahid mengerahkan segala kemampuannya untuk mengiistinbatkan hukum yang terdapat dalam al Quran dan Sunnah. Ijtihad itu hanya menjadi wewenang mujtahid, karenanya al-Ghazali membatasi ijtihad dalam defensinya tersebut untuk mujtahid saja. Atas dasar ini, pengerahan segala kemampuan oleh orang awwam untuk mengistinbatkan hukum tidak dapat disebut ijtihad. Abu Zahrah dalam buku Ushul fiqhnya mendefenisikan ijtihad sebagai berikut :
4 Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik dalam mengistinbatkan hukum syara’ maupun dalam penerapannya. Berdasarkan defenisi ini, ijtihad dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu ; Pertama, ijtihad istinbathi yaitu ijtihad yang dilakukan para ulama khusus untuk mengistinbatkan hukum dari dalil. Ijtihad bentuk ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu yang dalam ushul fiqh disebut mujtahid. Menurut jumhur ushul fiqh, ijtihad bentuk ini mungkin saja mengalami kemandekan masa-masa tertentu bilamana hasil ijtihad masa lampau masih dianggap cukup untuk menjawab masalah-masalah yang muncul dikalangan umat Islam.
5 Kalangan hanabilah berpendapat tidk boeh satu masa pun kosong dari kegiatan ijtihad karena senantiasa banyak masalah-masalah baru yang muncul untuk segera dijawab.
6 Kedua, ijtihad tathbiqi, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan hukum islam. Ijtihad ini akan selalu ada sepanjang masa selama Umat Islam melaksanakan ajaran agama mereka. Mujtahid yang melakukan ijtihad ini berperan untuk menerapkan hukum Islam, termasuk hasil ijtihad ulama terdahulu. Kalangan Hanabilah berpendapat tidak boleh satu masa kosong dari kegiatan ijtihad karena senantiasa banyak masalah-masalah baru yang muncul untuk segera dijawab. Karya-karya ushuk Fiqih Adapun karya-karya yang disusun oleh aliran-aliran tersebut berupa kitab-kitab. Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Syafi’iyah di antaranya adalah :
1. Al-Risalah, disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204H). Kitab al-Risalah adalah buku pertama Ushul Fiqh. Oleh karena itu, buku ini menjadi referensi utama dalam studi Ushul Fiqh dan banyak yang mensyarahnya, antara lain Syarh Abi Bakr al-Shairafi (w. 330 H). Buku ini telah dicetak berulang kali dan yang paling popular di dunia Islam adalah edisi yang dikomentasi oleh Syekh Ahmad Syakir seorang ahli Ushul Fiqh yang berkebangsaan Mesir yang hidup pada abad kedua puluh ini. Edisi tersebut pd mathba’ah (percetaka) Musthafa al-Babi al-Halabi di Mesir tahun 1358 H/1929 M
2. Al-Burhan fi ushul al-fiqh, disusun oleh Abu al-Ma’ali abd Al-Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain (419-478 H). Buku ini adalah salah satu buku standar dalam Ushul Fiqh aliran jumhur atau mutakkalimin. Buku ini beredar di dunia Islam dan cetakan kedua pada tahun 1400 H dipercetakan Dar al-Anshar di Kairo.
3. Al-Mugfhni fi Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl, disusun oleh al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H), seorang tokoh mu’tazilah. Buku ini terdiri dari 23 jilid yang berbicara tentang Ushul Fiqh. Buku ini telah berulang kali di cetaka dan terakhir oleh Kementrian Kebudayaan Mesir tanpa menyebutkan tahunnya. Selain itu, pengarang yang menyusun buku yang berjudul al-‘Amd atau al-‘Ahd, namun buku ini seperti dikatakan oleh Abu Sulaiman, belum pernah beredar dalam bentuk cetakan.
4. Al-MU’tamad fi Ushul al-Fidh, oleh Abu Al-Husein Al-Bashri (w. 436 H), seorang ahli Ushul Fiqh dari kalangan Mu’tazilah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan terbilang sebagai salah satu buku standar Ushul Fiqh aliran jumhur ulama atau Syafi’iyah. Buku ini dikomentari oleh Muhammad Hasan Hitu dan diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr pada tahun 1400 H/1980 M di Damaskus Syiria.
5. Al-Muntashfa min ‘ilm al-Ushul, oleh Abu hamid Al-Ghazali (w. 505 H- 1111 M) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Seperti halnya setiap karya Al-Ghazali, buku ini terbilang seperti buku Ushul Fiqh yang sangat bermutu dan beredar di dunia Islam sampai sekarang ini. Buku ini terdiri dari dua jilid dan telah dicetak berulang kali, antara lain cetakan pertama pada al-Mathba’ah al-Amiriyah Bulaq Mesir tahun 1324 H. Disamping itu juga, Al-Ghazali mengarang kitab al-Mankhul min Ta’liqat al- Ushul, yang telah dicetak berulangkali antara lain edisi yang dikomentari oleh Muhammad Hasan Hitu yang diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr di Damaskus Syiria pada tahun 1400 H/1980 M,dan kitab syifa’ al-Galil fi Bayan Al-Syibah wa al-Mukhil al-Ta’lil. Buku ini terdiri dari satu jilid dan telah dicetak berulang kali, antara lain oleh Mathba’at al-Irsyad Baghdad tahun 1930 H/1971 M.
6. Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Ushul karya fakhr al-Dien al-Razi (544-606 H/1150-1210 M), seorang ahli tafsir dan ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Kitab ini merupakan rangkuman dari empat buah buku Ushul Fiqh standar aliran mutakkalimin/Syafi’iyah tersebut di atas, yaitu kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh oleh Imam al-Haramin, kitab al-‘Amd oleh Abdul Jabbar, kitab al-Mu’tamad oleh Abu al-Husein al-Basri dan kitab al-Mustashfa oleh al-Ghazali. Buku ini aslinya terdiri dari dua jilid besar. Terakhir dikomentari sehingga menjadi beberapa jilid oleh seorang guru besar Ushul Fiqh Universitas Islam Ibnu Sa’ud di riyad, yaitu Syekh Jabir Fayyadh al-‘ulwani. Cetakan pertama diterbitkan oleh Universitas Islam Ibnu Sa’ud Riyad tahun 1979 M.
7. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, karya Saif al- Dien al-Amidi (551-631 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini telah dicetak berulang kali dalam empat jilid, antara lain oleh penerbiy Dar al- Kutub al-‘Ilmiyah Beirut pada tahun 1403 H/1983 M.
8. Minhaj al-Wushul fi ‘Ilm al-Ushul, karya al-Qadi al-Baidawi (w.685H). buku ini dicetak di Mathba’ah Muhammad ‘Ali Subaith wa awladuhu, Mesir tanpa menyebutkan tahun.
9. Al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqh, karya Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali (380-458 H) seorang ahli Ushul Fiqh dari kalangan hanbaliyah (pengikut mazhab Hanbali). Kitab ini terdiri dari tiga jilid dan terkenal di antara buku standar Ushul Fiqh dalam mazhab Hanbali.Buku ini dicetak pd Muassasah al-Risalah Beirut pd thn 1980M.
10. Raudah Al-nazir wa Jannah al-Munazir¸ karya Muwaffaq al-Dien Ibnu Qudamah al-Maqdisi (541-620 H), ahli fikih dan Ushul Fiqh dalam mazhab Hanbali. Buku ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang dan terakhir diterbitkan oleh Universitas Islam Muhammad Ibnu Sa’ud di Riyad, dan cetakan ke empat pada tahun 1408 H/1987 M, yang dikomentari oleh DR. Abdul Aziz Abdurrahaman al-Sa’id.
11. Al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh. Buku ini disusun oleh tiga orang ulama besar penganut mazhab Hanbali. Mulanya buku ini dikarang oleh Syekh al-Islam Majd al-Dien Abu al-Barakat al-Harrani (590-652H), kemudian diteruskan dan ditambah oleh putranya Syihab al-Dien Abu Abdul-Halim (672-682H), dan seterusnya oleh cucunya Taqiy al-Dien Ibnu Taimiyah (661-728 H). Buku ini dicetak oleh percetakan al-Madani di Kairo tanpa menyebutkan tahunnya.
12. A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin, karya imam Syams al-Dien Abu Bakr yang terkenal dengan Ibnu Qayyim al-Jawziyah (691-751 H), ahli Ushul Fiqh Mazhab Hanbali. Buku ini berbicara panjang lebar tentang Ushul Fiqh mazhab Hanbali dan telah berulang kali dicetak, antara lain edisi Syarh Thaha Abd Rauf terbitan Dar al-Jail Beirut tahun 1973 M.
13. Mukhtashar Muntaha al-Sul wa al-Amal karya Jamal al-Dien Ibnu al-Hajib (570-646 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Malikiyah. Buku ini lebih dikenal dengan Muktasar Ibnu al-Hajib dan dicetak pertama kali pada Mathaba’ah Kurdistan Kairo tahun 1326 H. Sedangkan kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Hanafiyyah antara lain :
1. Taqwim al-Adillah, karya Imam Abu Zaid Al-Dabbusi (w. 432 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini merupakan Ushul Fiqh standar dalam mazhab Hanafi ini dicetak pertama kali di al-Mathba’ah al-Amiriyah, Kairo Mesir.
2. Ushul al-Syarakhsi, disusun oleh Imam Muhammad Ibnu Ahmad Syams al-Aimmah al-Syarakhsi w. 484 H, ahli fikih dan Ushul Fiqh mazhab Hanafi. Buku ini dikenal oleh berbagai kalangan dan menjadi rujukan utama mazhab Hanafi. Buku ini terdiri dari dua jilid dan terakhir diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah Beirut pada tahun 1413 H.
3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul, disusun oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi (400-482 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini lebih dikenal dengan Ushul al-Bazdawi dan telah banyak disyarah oleh para ahlinya, diantaranya yang amat terkenal adalah Syarh Abdul Azir Al-Bukhari dengan judul kasyf al-Asrar yang merupakan rujukan utama dalam mazhab ini. Buku ini terakhir dicetak dalam dua jilid pada Mathba’ah al-Syirkah Al-Sahafiyah al-Usmaniyah Kairo, tanpa menyebutkan tahun.
4. Manar al-Anwar oleh Abu Al-Bakarat Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad al-Nasafi (w. 710 H), ahli Ushul Fiqh Hanafi. Buku ini telah banyak disyarah antara lain oleh penulisnya sendiri dengan judul Kasyr al-Asrar yang diterbitkan oleh Dar al-Kutud al-‘Ilmiyah Beirut pada tahun 1406 H. Kitab – kitab yang disusun dengan menggabungkan aliran Jumhur dengan aliran Hanafiyah antara lain yang beredar di dunia Islam, antara lain :
1. Jam’u al-Jawami’, karya Taj al-Dien Ibnu al-Subki (727-771 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini sangat popolar dan telah banyak disyarah antara lain oleh Jalal al-Dien al-Mahalli (727-771 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan telah berulang kali diterbitkan antara lain oleh Dar al-Fikr Beirut pada tahun 1402 H.
2. Al-Tahrir fi Ushul al-Fiqh, karya Kamal al-Dien Ibn Al-Humaw w. 961 H, ahli fikih dan Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini disyarah antara lain oleh Amir Bad Syahd al-Husaini, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah, dicetak pertama kali dalam dua jilid pada percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuhu Mesir tahun 1350 H.
3. Mussalam al-Subut, karya Muhibullah Ibn Abd al-Sakur w. 1119 H yang kemudian disyarah oleh ‘Abd al-Ali Muhammad ibn Nizam al-Dien al-Ansari dalam bukunya Fawatih al-Rahmut. Kedua tokoh itu adalah ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah.Kitab ini dicetak kitab Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali pada al-Mathaba’ah al-Amiriyah,Bulaq Mesir, tahun 1322 H.
4. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah, karya Abu Ishaq al-Syatibi 9w. 790 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Malikiyah. Buku ini luas pembahasannya dan banyak bicara tentang penetapan hukum melalui tujuan syari’ah maqashid al-syari’ah. Buku ini dicetak antara lain edisi yang dikomentari Syekh Abdullah Darraz terdiri dari empat jilid yang diterbitkan oleh Dar al-Ma’rifah Beirut, tanpa menyebutkan tahun. Buku- buku ilmu Ushul Fiqh yang disusun pada abad modern di antaranya :
1. Irsyad al-Fuhul, karya Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani 117-1255 H, ahli Ushul Fiqh terkemuka pada abad ke-13 H. Buku ini telah dicetak beberapa kali di antaranya oleh percetakan Mustafa al-babi al-halabi Mesir,Thn 1356 H/1937 M.
2. Ilmu Ushul al-Fiqh, karya ‘Abdul Wahab khallaf. Kitab ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang, dan cetakan kelima belas diterbitkan oleh Dar al-Qalam di Kuwait, tahun 1402 H/1983 M.
3. Ushul al-Fiqh, disusun oleh Syekh Muhammad Abu Zahrah, guru besar Universitas Al Azhar Kairo yang hidup pada awal abad kedua puluh. Buku ini beredar di Indonesia dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang, antara lain oleh penerbit Dar al-Fikr al-‘Arabi Mesir tanpa menyebutkan tahun.
4. Ushul al-Tasyri’ al-Islami, disusun oleh al-Ustadz ‘Ali Hasballah, guru besar syari’at Islam pada Universitas Al Qahirah Mesir. Buku ini cetakan kelimanya diterbitkan oleh penernit Dar al-Ma’arif Mesir tahun 1396 H/1976 M.
5. Dhawabit al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, karya Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi, guru besar Ushul Fiqh pada Universitas Damaskus Syiria. Buku ini berasal dari disertai pengarang pada Universitas Al Azhar Kairo. Cetakan kedua pada tahun 1937 H/1977 M, penerbit Muassasah al-Risalah Beirut.
6. Al-Wasit fi Ushul al-Fiqh al-Islami, karya DR. Wahbah al-Zahaili, guru besar fikih dan Ushul Fiqh pada Universitas Damaskus Syiria.Buku ini terdiri dari dua jilid dan diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr al-Mu’asir Beirut tahun 1406 H/1686 M.
7. Al-Fikr al-Ushuli, disusun oleh DR. Abd, Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman, dosen Fakultas Syari’ah dan Dirasat al-Islamiyah Universitas Ummul-Qura, Mekkah. Buku ini menguraikan sejarah terbentuk dan perkembangan Ushul Fiqh dari mulai terbentuknya sampai abad ke-7 H. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Dar al-Syuruq, Jeddah-Saudi Arabia, tahun 1403 H/1983M. Sejarah perkembangan Ushuk Fikih Dalam sejarah Islam, fiqh sebagai hasil ijitihad para ulama lebih dahulu popular dikalangan umat Islam dan dibukukan dalam sistem tertentu dibandingkan Ushul Fiqh. Perumusan fiqh dilakukan setelah nabi Saw. Wafat, yaitu periode sahabat. Sementara Ushul Fiqh sebagai sebuah metode istinbat, baru tersusun sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Namun, para ahli hukum Islam mengakui dalam prakteknya Ushul Fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya fiqh. Pendapat ini cukup logis mengingat seara metodologis, fiqh tidak akan hadir tanpa ada metode istinbat dan metode istinbat ini yang menjadi inti dari apa yang dinamakan dengan Ushul Fiqh. Pemikiran tentang Ushul Fiqh telaha da pada sat perumusan fiqh. Para sahabat yang melakukan ijitihad melahirkan fiqh secara praktis mereka telah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh, meskipun belum tersusun dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan para sahabat menerapkan kaidah-kaidah Ushul Fiqh berasal dari bimbingan Nabi saw. Mereka mengetahui dan mengikuti secara langsung praktek-praktek tasyri’ (pembentukan hukum) yang dilakukan Nabi saw. Mereka adalah sahabat-sahabat yang dekat dengannya dan senantiasa mendampingi dan menyaksikan langsung tata cara Nabi saw. Memecahkan peristiwa-peristiwa hukun yang dihadapi. Dengan latar belakang ini, para sahabat memahami dengan baik cara memahami ayat dan mengetahui pula tujuan pembentukan hukum. Para sahabat merupakan orang-orang yang terpelihara dan kuat kemampaun bahasa Arabnya bahasa Al-Qur’an. Berbekal kemampuan ini, mereka mampu memahami teks-teks Al-Qur’an, Sunnah dan menggunakan qiyas sebagai metode pengembangan hukum melalui pendekatan substansinya. Banyak contoh sahabat yang memiliki kemampuan menguasai Ushul Fiqh dan menggunakannya dalam mengintinbatkan hukum. Diantara mereka adalah Umar ibn Khattab, Ibn Mas’ud dan Ali ibn Abi Thalib. Umar Ibn Khatab selalu berijtihad dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip maslahat dengan mengendepankan semangat yang terdapat dalam teks-teks Al Quran dan Sunnah. Misalnya, Umar tidak membagikan tanah dari wilayah yang ditaklukan tentara Islam demi kemaslahatan penduduk setempat. Umar memandang tanah tersebut tidak termasuk harta ghonimah yang terdapat dalam ketentuan umum firman Allah surat al-Anfal ayat 41, artinya : “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabi Harta ghonimah yang dimaksudkan ayat tersebut adalah hata ghonimah yang dapat dipindahkan. Sedangkan daerah yang ditaklukan bukan termasuk harta ghonimah karena tidak dapat dipindahkan. Pertimbangan lain yang dipakai Umar, bnila seluruh daerah yang ditaklukan dibagi, tentu anak cucu penduduk setempat tidak akan mendapatkan tanah lagi untuk kelangsungan hidup mereka. Apabila tanah itu dibiarkan tetap berada pada tangan pemiliknya, maka dapat berguna untuk membiayai pertahanan negara dan menutupi anggaran negara melalui jizyah yang diwajibkan terhadap pemilik tanah tersebut. Namun, prajurit-prajurit Islam yang ikut serta dalam penaklukan daerah itu tidak setuju dengan pendapat Umar dan mereka memperdebatkan masalah tersebut selama tiga hari tiga malam. Pada hari ketiga, Umar menemui mereka dan menjelaskan kepada mereka firman Allah surat al-Hasyar ayat 7 untuk memperkuat pendapatnya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. Setelah Umar menjelaskan maksud ayat ini kepada prajurit muslim, akhirnya mereka menyetujui pendapatnya. Apabila diperhatikan secara cermat, pada masa sahabat mereka mengistinbatkan hukum mula-mula dengan memperhatikan teks-teks Al Quran, kemudian Sunnah dan bila hukumnya tidak dapat ditemukan di kedua hukum tersebut, mereka melakukan ijtihad dan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan hasil kesepakatan mereka dikanal dengan sebutan ijma’ sahabat, atau melakukan ijtihad secara perorangan. Disamping berijtihad dengan metode qiyas, mereka juga menggunakan metode istislah yang berlandaskan dengan metode qiyas, mereka juga menggunakan metode istislah yang berlandaskan pada metode maslahah al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil mendukung aatu menolaknya, tetapi mendukung pemeliharaan tujuan syari’at. Misalnya, menghimpun Al Quran dalam satu mushaf (naskah Al Quran). Dari uraian di atas, tampak bahwa sahabat telah menggunakan metode tertentu dalam berijtihad, yaitu ijma’, qiyas dan istilah. Menurut Abu Zahrah, metode ijtihad sahabat inilah yang menjadi akar bagi perkembangan metode ijtihad masa sesudahnya. pada periode tabi’in, metode istinbat ini semakin jelas dan meluas seiring. Dengan meluasnya daerah Islam yang berimplikasi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban. Siatuasi ini mendorong kalangan tabi’in yang mendapat pendidikan dari generasi sahabat mengkhussukan diri untuk berfatwa dan melakukan ijtihad. Di antara mereka Said ibn al-Musayyad, (15-94 H)di Madinah, Al-Qamah ibn Qays (m. 62 H) dan Ibrahim Al-Nakha’i (w. 96 H) di Irak. Dalam melakukan fatwa mereka berpegang pada Al Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas dan Maslahah al-Mursalah. Pada masa ini, menurut Abu sulaiman, terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah dalil hukum dan perbedaan pendapat tentang ijma ahli Madinah apakah dapat dipegang sebagai ijma’. Metode ijtihad semakin jelas lagi pada periode Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H), pendiri mazhab Syafi’i. Tokoh ini tampil meramu, mensistemisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Upaya pembukuan ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini mulai berlangsung keislaman pada saat itu. Perkembangan ilmu pengetahuan ini mulai berlangsung pada masa Harun al-Rasyid (145-193 H) dan puncaknya pada masa al-Ma’mun (170-218 H). Dalam situasi inilah Imam Syafi’i tampil menyusun buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Munculnya kitab al-risalah merupakan fase awal perkembangan Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu. Kitab Imam Syafi’i ini kemudian menjadi rujukan utama bagi kalangan ahli ushul pada masa sesudahnya dalam menyusun karya-karya mereka. Ruang Lingkup Ushul Fiqih Bertitik tolak dari defenisi Ushul Fiqh yang disebutkan di atas, maka bahasan pokok Ushul Fiqh adalah tentang :
a. Dalil-dalil atau sumber hukum syara’
b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil-dalil itu.
c. Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengealuarkan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang mengandungnya. Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemungkinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwewenang menggunaka kaidah atau metode dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Tujuan dan Manfaat Ushul Fikih Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu Ushul fiqh ialah utuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terdapat dalil-dalail syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali’, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung didalamnya. Memang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara’ dan telah terjaqbar secara rinci dalam kitab-kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi Ushul Dfiqh bagi umat yang datang kemudian? Dalam hal ini ada 2 (dua) maksud mempelajari Ushul Fiqh yaitu : pertama, bila kita sudah mengetahui metode Ushul Fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka tatkala kita menghadapi maslah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu. Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha ulama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya. Maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal ini akan diketahui secara baik dalam ilmu Ushul Fiqh.
Obyek Kajian Ushul Fikqih Menurut Abdullah bin Umar al-Baidhawi, defenisi Ushul Fiqh yang dikemukakan di bagian awal pembahasan ini dapat dipaparkan tiga masalah pokok yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode istinbat dan tentang ijtihad. Kajian tentang hukum (al-hukm) oleh abdullah bin Umar al-Baidhawi diletakkan pada bagian pendahuluan. Sedangkan Imam abu Hamid al-Ghazali (450-505 H), ahli Ushul Eiqh dari keluarga Syafi’iyah meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada pendahuluan, melainkan pada bagian pertama dari amsalah-masalah pokok yang akn dibahas dalam ushul eiqh. Berpegang kepada pendapat al-ghazali tersebut, maka objek bahasan Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :
(1) Pembahasan tentang hukum syara’ dan yg berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih,
(2) Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum,
(3) Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dan sumber-sumber dan dalil-dalil itu, dan
(4) Pembahasan tentang ijtihad. Secara global, muatan kajian Ushul fiqh seperti dijelaskan di atas menggambarkan objek bahasan Ushul Fiqh dalam berbagai literatur dan aliran, meskipun mungkin terdapat perbedaan tentang sistematika dan jumlah muatan dari masing-masing bagian tersebut. Meskipun yang menjadi objek bahasan Ushul Fiqh ada empat seperti dikemukakan diatas, namun Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya al-Wasith Fi Ushul al-Fiqh menjelaskan bahwa yang menjadi inti dari objek kajian Ushul Fiqh adalah tentang dua hal, yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-hukum syara’). Selain dua hal tersebut dipaparkan, oeh ulama Ushul Fiqh hanya sebagai pelengkap. Dalil-dalil syara’ dikaji dari segi tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya al-Quran adalah kitab suci dan menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al-amr (perintah) yang terdapat di dalam Al Quran menunjukkan hukum wajib. Sebuah teks (nash) yang tegas menunjukkan pengertiannya secara pasti (qath’i). Lafal umum yang sudah ditakhshish sebagian cakupannya, sisanya berlalu secara tidak pasti (zhanni). Dalam contoh-contoh di atas, Al Quran dikaji dari segi kepastian pengertiannya menunjukkan hukum, teks (nash) yang tegas dikaji dari segi kepastian pengertiannya menunjukkan hukum, dan lafal umum yang sudah ditakshshish sebagian cakupannya dikaji dari segi ketidak pastian penunjukkannya terhadap sisa cakupan penngertiannya mengenai hukum. Begitulah setiap teks ayat atau hadits dalam berbagai macam bentuk dan karakteristiknya dikaji sedemikian rupa sehingga akan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang dirumuskan dalam bentuk kaidah-kaidah umum. Kemudian, hukum syara’ dijelaskan secara panjang lebar, baik dari segi konsepnya maupun dari segi bagaimana ia bisa ditetapkan melalui dalil-dalil syara’. Dari sisi ini kelihatan hubungan erat antara hukum dan dalil-dalil syara’. Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa yang menajdi objek bahasan ushul fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan sebuah hukum dan sebaliknya, segi bagaimana tetapnya suatu hukum dengan dalil. Dalil-dalil atau kaidah-kaidah serta hukum itu dikemukakan secara global, tanpa masuk kepada rinciannya, karena rinciannya seperti dikemukakan sebelumnya dibahas dalam ilmu fikih oleh mujtahid.
Pengertian Ushul fiqh 
1. Arti Ushul Fiqh Secara Bahasa dan Istilah Ushul fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul al-Fiqh yang terdiri dari dua kata, yaitu al-ushul dan al-fiqh.
a. al-ushul kata al-ushul adalah jamak (plural) dari kata al-ashl, menurut bahasa berarti “مايبنى عليه غير ة” landasan tempat membangun sesuatu. Menurut istilah, seperti dikemukakan wahbah az-Zuhaili, guru besar Universitas Damaskus, kata al-ashl mengandung beberapa pengertian :
1. Bermakna dalil seperti dalam contoh : “الأصلى فى وجوب الصلوة الكتاب والسنة"dalil wajib shalat adalah Al-Qur’an dan Sunnah
2. Bermakna kaidah umum yaitu satu ketentuan yang bersifat umum berlaku padeeeeeeee22a seluruh cakupannya, seperti dalam contoh : "بنى الإسلام على خمسة أصول" Islam dibagun di atas lima kaidah umum,
3. Bermakna al-rajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan) seperti dalam contoh : "الأصل فى الكلام الحقيقة" pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakikatnya
4. Bermakna “asal” tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun qiyas. Misalnya, khamar merupakan asal (tempat mengkiyaskan) narkotika dan
5. Bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah. Misalnya, seseorang yang meyakini bahwa ia telah berwudhu’, kemudian ia ragu apakah wudhu’nya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan fikih mengatakan"الأصل الطهرة" yang diyakini adalah keadaan ia dalam kondisi berwudhu’. Artinya, dalam hal tersebut yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu, Demikianlah beberapa pengertian kata as-ashlu yang popular dalam literatur-literatur keislaman. Pengertian al-ashlu yang dimaksud, bila dihubungkan dengan kata fikih adalah pengertian yang disebut pertama di atas, yakni makna al-dalil. Dalam pengertian ini, maka kata ushul al-fiqh berarti dalil-dalil fikih, seperti al-Qur;an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain.
b. al-Fiqh Kata kedua yang membentuk istilah Ushul al-Eiqh. Kata al- Fiqh menurut bahasa berarti pemahaman. contohnya, firman Allah dalam menceritakan sikap kaum Nabi Syu’aib Mereka berkata : “ hai syu’aib, kami banyak mengerti tentang doa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami....... (QS. Hud ayat : 91) Kata fiqh dengan arti “paham” muncul sebanyak 20 kali dalam al-Qur’an. Salah satunya terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 93 “.......dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan “. Arti yafqahuna dalam ayat itu; “mereka memahami”. Arti fiqh dari segi istilah hukum, sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologinya sebagaimana disebutkan di atas yaitu :”Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat alamiah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili. Kata ushul yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi lainnya”. Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud defenitif dari kata ashal tersebut karena ilmu “ushul Fiqh” secara teknik hukum berarti: “ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci, atau dalam artian sederhana adalah: “kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalinya”. Syarat-syarat Mujtahid Sekurang-kurangnya ada 8 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, yakni sebagai berikut :
1. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al Qur'an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghapal di luar kepala dan tidak perlu menghapal seluruh Al Quran. Seorang mujtahid cukup mengetahui tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan pada waktu yang dibutuhkan.
2. Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’, seperti telah diuraikan pada syarat pertama. Seperti halnya Al Qur'an, maka dalam masalah hadis juga tidak mesti dihapal seluruh hadis yang berhubungan dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang dapat dijangkau bilamana diperlukan.
3. Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah di maksud (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang menasakh aau sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.
4. Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.
5. Mengetahui seluk beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya tentang ‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syari’at Islam.
6. Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat Al Quran dan Sunnah adalah berbahasa Arab. Seseorang tidak akan bisa mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui seluk beluk bahasa Arab.
7. Menguasai ilmu ushul fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan menguasai hal ihwal tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini diperlukan karena ushul fiqh merupakan pedoman yang harus dipegang dalam melakukan ijtihad.
8. Mampu menangkap tujuan ijtihad dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya kepada berbagai peristiwa, ketetapannya sangat bergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal tersebut disebabkan penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai kemungkinan, dan pengetahuan tentang maqasid al-syari’ah memberi petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak diangkat dan difatwakan. Disamping itu, yang terpenting, dengan penguasaan bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah dapat dikembangkan seperti dalam bentuk qiyas, istihsan dan maslahah al-mursalah
Ijma 
Pengertian Ijma’ Menurut Al-Amidi, ijma’ (احماع) secara bahasa mengandung dua pengertian yaitu : 4
1. Ijma’ berarti العزم على الشىء atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. ijma’ dalam pengertian ini dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus ayat 71 yang artinya : “........karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)”
2. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus. Ijma’ dalam arti ini dapat ditemukan pada firman Allah surat Yusuf ayat 15 , yang artinya : “ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur “ Ijma’ dalam kedua makna dan ayat diatas hampir sama, letak perbedaan antar keduanya terdapat pada kuantitas orang yang berkekuatan hati. Pada pengertian pertama dan ayat pertama hanya mencakup satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua meliputi tekad atau kesepakatan kelompok. Imam al-Ghazali dalam bukunya al-Mustashafa fi ‘Ilm Ushul mejelaskan, Ijma’ adalah :5 “kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”. Dalam defenisi di atas, al-Ghazali menetapkan Ijma’ sebagai kesepakatan seluruh umat Muhammad atau umat Islam, bukan hanya khusus para ulama, tetapi termasuk masyarakat umum.
2. Rukun Ijma’ Para ulama menetapkan beberapa syarat yang menjadi rukun ijma’. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan syarat atau rukunnya. Perbedaan tersebut diuraikan berikut ini :
1. Ada sejumlah mujtahid ketika berlangsungnya kejadian yang membutuhkan ijma’, karena ijma’ tidak akan terwujud bila yang melakukan ijma’ hanya seorang muhtahid saja.
2. Semua mujtahid dari berbagai golongan dan belahan dunia sepakat tentang hukum suatu masalah. Apabila kesepakatan itu hanya terwujud di kalangan sebagian mujtahid atau wilayah atau kelompok tertentu, seperti kesepakatan mujtahid Hijaz atau mujtahid Irak saja, maka kesepakatan tersebut tidak dapat disebut sebagai ijma’, karena ijma’ hanya tercapai melalui kesepakatan seluruh mujtahid.
3. Kesepakatan tersebut terwujud setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat tentang suatu masalah secara terang-terangan. Pendapat itu dikemukakan melalui ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang suatu masalah hukum atau melalui perbuatan dengan menetapkan putusan di pengadilan dalam kedudukannya sebagia hakim.
4. Kesepakatan tentang hukun suatu masalah berasal dari semua mujtahid secara utuh. Apabila kesepakatan berasal dari mayoritas mereka saja dan sebagian kecil mereka tidak menyetujuinya, maka ijma’ tidak dikatakan telah terwujud. Jadi kesepakatan mayoritas ulama semata tidak dapat dijadikan sebagai hujjah yang bersifat qath’i. Meskipun demikian, Jumhur ulama dalam hal ini memandang sah bila ijma’ berasal dari kesepakatan mayoritas mujtahid.6
3. Pembagian Ijma’ Memperhatikan cara munculnya kesepakatan ulama, maka ijma’ terbagi menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu :
1. Ijma’ sharid (tegas) atau lafzi, yaitu kesepakatan semua mujtahid dalam satu masa mengenai hukum tertentu secara tegas dan terbuka dengan mengemukakan pendapat, tulisan atau perbuatan sebagai pernyataan persetujuan terhadap kesimpulan tersebut. Jumhur ulama sepakat menerima ijma’ sharih tersebut sebagai dalil dalam menetapkan hukum. Namun, ijma’ seperti ini apabila mengikuti persyaratan ijma’ sharih hanya mungkin terjadi pada masa sahabat, karena saat itu jumlah mujtahid relatif terbatas dan lingkungan tempat tinggal mereka berdekatan satu sama lain.7
2. Ijma’ sukuti, yaitu kesepakatan ulama dengan cara seorang atau beberapa mujtahid mengemukakan pendapat tentang hukum suatu masalah pada masa tertentu, lalu pendapat itu tersebar luas dan diketahi mujtahid lain, tetapi mereka diam tanpa komentar. Para ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ijma’ sukuti. Imam Syafi’i dan kalanga mazhab Maliki berpendapat bahwa ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum. Menurut mereka, diamnya sebagian mujtahid tidak dapat dipastikan menunjukkan setuju, bisa saja hal itu terjadi karena takut pada penguasa yang mendukung pendapat tersebut, atau boleh jadi disebabkan segan, terhadap mujtahid senior yang mengemukkan pendapat.8 Sebaliknya kalangan Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat ijma’ sukuti boleh dijadikan dalil hukum. Mereka beralasan, diamnya mujtahid dipandang sebagai persetujuan, jika mereka tidak setuju tentu saja mereka menentangnya dengan keras. Jadi diamnya mereka sebagai isyarat persetujuan. Meskipun begitu, ada pula sebagian kalangan Hanafiyah dan Hanabilah yang lain menilai diamnya sebagian mujtahid tidak dapat dipandang telah terjadi ijma’.
3. Ijma’ amali, yaitu kesepakatan para mujtahid atau ulama dalam mengamalkan perbuatan tertentu pada suatu masa. Amal para ulama ini menunjukkan terjadinya suatu ijma’ atau kesepakatan. Kesepakatan ini tidak menunjukkan pada hukum wajib kecuali ada indikasi yang mendukungnya. Misalnya, Ubaidah al-Salmaniy menyatakan : “Para sahabat Nabi saw. sepakat untuk melakukan shalat empat rakaat sebelum Zuhur”. Dalam ijma’ ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa sahalat empat rakaat sebelum zuhur itu hukumnya wajib, tetapi hanya sunat sesuai kesepakatan mereka.9 4. Hukum Ijma’ Dalam penjelasan terdahulu dapat diketahui bahwa ijma’ ada yang sifatnya qath’i adl-dilalah dan ada pula dan ada pula yang sifatnya zhanni al-dilalah. Adapun ijma’ yang bersifat qath’i al-dilalah adalah ijma’ sarih sehingga tidak boleh menyalahinya. ijma’ seperti ini tidak boleh dilakukan ijtihad terhadapnya karena apa yang menjadi materi ijma’ tersebut telah menjadi hukum syara’ yang harus diikuti dan dilaksanakan. Sementara ijma’ yang bersifat zhanni al-dilalah adalah ijma’ sukuti. Hasil ijma’ ini boleh dan dimungkinkan untuk dilakukan ijtihad mengingat ijma’ tersebut hanya pendapat sekelompok mujtahid pada suatu masa.
Qiyas 
1. Pengertian Qiyas Qiyas secara bahasa, bisa berarti mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya.10 ada kalangan ulama yang mengartikan qiyas sebagai mengukur dan menyamakan.11 Menurut istilah ushul fiqh, qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya denagn sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.12 Ibn Subki mengemukakan dalam kitab jam’u Jawamii, qiyas adalah : “Menghubungan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam ‘illah hukumnya menurut mujtahid yang menghubungkannya.” Dengan pengertian yang hampir senada, Abu Zahrah mengemukakan defenisi sebagai berikut : Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan perkara lain yang ada nash hukumnya, karena antara keduanya terdapat kesamaan dalam ‘illat hukumnya. Dari beberapa defenisi qiyas di atas, diketahui hakikat makna qiyas, yaitu ada dua kasus hukum yang mempunyai ‘illat hukum yang sama. Salah satu dari kasus hukum yang sama ‘illatnya itu telah ada hukumnya dalam nash, sementara kasus lain tidak ditetapkan hukumnya secara tegas oleh nash tertentu. Lalu disamakaan hukum kasus yang tidak ada nash ini dengan kasus hukum yang telah ada nashnya karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya.
2. Kedudukan Qiyas sebagai Dalil Dalam menempatkan qiyas sebagai dalil mengistinbatkan hukum, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama menerima dan menggunakan qiyas sebagai dalil syar’i pada urutan keempat sesudah Al Quan, sunnah dan Ijma’. Maksudnya qiyas digunakan ketika tidak ditemukan hukum tentang suatu peristiwa dalam Al Quran, Sunnah dan Ijma’, sementara peristiwa itu memiliki ‘illat yang sama dengan kasus yang telah ditetapkan dalam Al Quran, Sunnah dan ijma’. Namun ulama Zahiriyan dan Syi’ah memandang qiyas bukan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.13 Adapun alasan Jumhur Ulama menetapkan qiyas sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :
1. Banyak ayat Al Quran yang dapat dijadikan sebagai dasar perintah melakukan qiyas. Misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya : Ayat di atas memerintahkan kepada orang-orang beriman ketika mereka berselisih pendapat tentang suatu persoalan agar mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya atau kepada Al Quran dan Sunnah. Hal ini berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu masalah. Perintah mengambil i’tibar (pelajaran) yang terdapat pada ayat ini setelah Allah menceritakan tentang kisah Bani Nadhir, berarti perintah untuk melakukan qiyas. Dalam hal ini perintah menqiyaskan atau memperbandingkan diri kita kepada mereka karena sama-sama berstatus manusia.
2. Banyak hadis yang mengisyaratkan untuk melakukan qiyas dalam menetapkan hukum yang tidak ditemukan dasarnya secara langsung dalam Al Quran dan Sunnah, di antaranya hadis berikut: Bahwa Rasullah saw. Mengutus Mu’az ke Yaman sebagai qadhi. Rasul bertanya kepadanya, bagaimana kamu memutuskan apabila dihadapkan kepadamu suatu masalah hukum? Muaz menjawab, aku memutuskannya dengan Kitabullah. Rasul bertanya lagi : Bagaimana caranya apabila kamu tidak menemukan jawaban dalam Kitabullah? Muaz menjawab, aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasullulah saw. Bagaimana apabila dalam sunnah Rasulullah saw. juga tidak ada jawabannya? Muaz menjawab, aku akan melakukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya. Mendengar jawaban itu Rasulullah saw. Berkata : “segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah saw.” Dari hadis ini diketahui bahwa Nabi saw. Membenarkan tindakan Muaz untuk melakukan ijtihad ketika suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah.
Ijtihad merupakan pengerahan segala kemampuan untuk mengistinbatkan hukum. Di antara metode yang digunakan dalam ijtihad adalah qiyas.
3. Perbuatan para sahabat Nabi saw. banyak menggunakan qiyas untuk menetapkan berbagai peristiwa hukum yang tidak ada nashnya. Mereka mengqiyaskan persoalan baru tersebut dengan persoalan yang telah ada hukumnya dalam nash. Misalnya, meng qiyaskan kedudukan khalifah dengan menjadi Imam dalam shalat. Berdasarkan hal ini mereka membai’at Abu Bakar sebagai khalifah Islam yang pertama dengan alasan selama Rasulullah meridhai Abu Bakar sebagai imam shalat, bagaimana mungkin para sahabat tidak menyetujuinya sebagai imam/pemimpin urusan dunia.
4. Secara logika, bahwa Allah mensyariatkan hukum untuk kemaslahatan manusia dan hal ini merupakan tujuan utama syariat Islam. Karena itu, jika ada ‘illat hukum suatu peristiwa memiliki kesamaan dengan peristiwa yang terdapat disamkan pula demi mewujudkan kemaslahatan ummat yang diinginkan Islam. Selain itu peristiwa dan persoalan yang dihadapi manusia terus berkembang dan peristiwa itu memerlukan kepastian hukum, sementara nash Al-Quran dan Sunnah terbatas jumlahnya dan telah berakhir masa turunnya, maka untuk mengatasi hal ini, qiyas merupakan suatu metode yang mampu menjawab dan menetapkan hukum terhadap berbagai persoalan yang baru muncul tersebut. Sedangkan kalangan yang menolak qiyas juga mengemukakan beberapa alasan untuk memperkuat alasan mereka, di antaranya :
1. Qiyas dibangun atas dasar zhanni atau praduga semata. Hal ini nampak ketika menetapkan ‘illat hukum yang terdapat pada suatu nash. Sesuatu yang dibangun atas dasar zhanni, maka akan menghasilkan yang zhanni pula. Padahal dalam surat Al-isra’ ayat 36, Allah melarang umat Islam untuk mengikuti sesuatu yang dilandasri dengan zann atau praduga.
2. Qiyas ditetapkan dengan perbedaan pandangan para mujtahid dalam menentukan ‘illat hukum sehingga menyebabkan terjadi perbedaan pendapat dalam berbagai masalah hukum. Sementara Allah yang Maha Bijaksana tidak membuat antara hukum-hukumnya saling bertentangan.
3. Rukun Qiyas Sebagai dalil istinbat hukum, ada 4 rukun yang harus terwujud dalam Qiyas, yaitu ashl, hukum ashl, furu’ dan ‘illat. Rukun Qiyas Sebagai dalil istinbat hukum, ada 4 rukun yang harus terwujud dalam Qiyas, yaitu ashl, hukum ashl, furu’ dan ‘illat.
A. Ashl Ashl merupakan masalah yang ditetapkan dalam Al-Quran ataupun Sunnah. Ia disebut pula maqus ‘alaih (tempat mengqiyaskan) dan maha al-hukm al-musyabbah bih, yaitu wadah yang padanya terdapat hukum untuk disamakan dengan wadah yang lain. Disamping itu, ada yang menyebutnya dengan dali al-hukm (suatu yang petunjuk tentang adanya hukum). Para ahli ushul fiqh menetapkan ashl harus memenuhi sejumlah syarat, yaitu :
1. Hukum yang hendak dipindahkan pada cabang masih ada pada pokok (ashl).
2. Hukum yang terdapat pada ashl hendaklah hukum syara’, bukan hukum akal atau hukum yang berhubungan denagn diluar sya’i.
3. Hukum ashl bukan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum.
B. Hukum Ashl Hukum Ashl adalah hukum syara’ terdapat pada ashl yang ditetapkan nash atau ijma’ yang hendak diberlakukan pada furu’ (cabang) dengan cara Qiyas. Menurut Abu Zahrah, hukum Ashl itu harus memenuhi syarat berikut :
1. Hukum ashl harus hukum syara’ yang berkaitan dengan amal perbuatan, sebab yang menjadi obejk kajian ushul fiqh adalah menyangkut amal perbuatan manusia.
2. Hukum ashl tersebut dapat ditelusuri ‘illat (motivasi) hukumnya. Misalnya keharaman khamar dapat ditelusuri sebab pengharamannya, yaitu sifat memabukkan yang dapat merusak akal manusia. Jadi, hukum ashl bukan hukm yang tidak dapat diketahui ‘illat hukumnya (ghairu ma’qul al-ma’na) seperti masalah menghadap kiblat dalam shalat dan jumlah rakaat shalat.
C. Furu’ Furu’ atau cabang adalah sesuatu masalah yang tidaka da ketegasan hukumnya dalam Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ yang hendak ditemukan hukumnya melalui Qiyas. Misalnya keharaman narkoba yang ditetapkan melalui Qiyas terhadap ketentuan keharaman khamar dalam surat al-Maidah ayat 90. Adapun syarat-syarat furu’ adalah sebagai berikut :
1. Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan tentang hukum furu’ atau cabang.
2. Íllat yang terdapat pada cabang sama dengan ‘illat yang terdapat pada ashl, baik dalam zatnya maupun jenisnya.
3. Hukum cabang yang ditetapkan melalui Qiyas harus sama dengan hukum ashl sebagai tempat mengqiyaskannya.
D. ‘Illat ‘Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya penyakit disebut illat karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Sedangkan menurut istilah Abdul Khallaf mengatakan bahwa ‘illat adalah suatu sifat pada ashl menjadi landasarn adanya hukum.14 ntuk sah suatu ‘illat dalam Qiyas harus memenuhi persyaratan, di antaranya yang terpenting adalah :
1. ‘Illat harus sesuai dengan tujuan pembentukan suatu hukum
2. ‘Illat harus konkrit, jelas dan terukur sehingga dapat disaksikan keberadaannya.
3. ‘Illat harus dalam bentuk dan keadaan yang jelas dan terbatas, sehingga tidak bercampur dengan yang lain Macam-macam Qiyas Dilihat dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashl dan yang terdapat pada cabang, maka Qiyas terbagi menjadi tiga macam, yakni :
1. Qiyas Awla, yaitu ‘illat yang terdapat pada furu’ lebih utama dari ‘illat yang terdapat pada ashl. Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua haram hukum menyatakan “ah” yang terdapat pada firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 23 “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.” Memukul dan mengatkan “ah” terhadap orang tua sama-sama menyakiti keduanya. Namun, perbuatan memukul dalam qiyas ini sebagai cabang lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan ‘ah’ yang terdapat pada ashl.
2. Qiyas musawi, yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang sama bobotnya dengan ‘illat yang terdapat pada ashl. Misalnya, firman Allah yang terdapat pada surat An Nisa’ ayat 10 Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Ayat ini melarang memakan harta anak yatim dengan ‘illat dapat melenyapkan cabang sama bobotnya dengan ‘illat memakan harta tersebut, karena sama-sama melenyeapkan harta anak yatim.
3. Qiyas al-Adna, yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang lebih rendah bobotnya dibandingkan ‘illat yang terdapat pada ashl. Misalnya, firman Allah surat al-Maidah ayat 90 tentang larangan meminum khamar dengan ‘illat memabukkan. Dengan menggunakan qiyas al-adna ditetapkan bahwa ‘illat memabukkan yang terdapat pada minuman keras ‘bir’ lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat yang terdapat pada minuman keras khamar, meskipun pada ashl dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan. Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat yang menjadi landasan hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam :
1. Qiyas Jali, yaitu qiyas yang dinyatakan ‘illatnya secara tegas dalam Al Quran dan Sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan cabang dari segi kesamaan ‘illatnya. Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan larangan mengucapkan “ah” sebagaimana dalam contoh qiyas awla di atas. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas jali ini meliputi apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas musawi.
2. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya di istinbatkan atau ditarik dari hukum ashl. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tajam karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam. 

Kamis, 28 Oktober 2010

Tiga Hal Yang Selalu di panjatkan,dalam Doa

Assalamu'alaikum Wr Wb,sahabatku semua yg di Rahmati Allah
1. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang shalih dan bertaqwa, semoga Allah memberikan kemampuan kepada kita untuk menjadi hamba yang selalu berbuat kebajikan, bertaqwa dan menjadi manusia muttaqin, bukan hamba Allah yang selalu durhaka kepada-Nya.
2. Diberikan rezki yang halal dan barakah. hendaknya kita selalu memanjatkan doa kepada Allah agar Allah menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang selalu dicukupi dengan rizki yang halal dan barakah. Karena hidup butuh makan, kita butuh rizki dari Allah agar kita dapat beribadah, menghidupi sanak keluarga dan berjuang di jalan Allah. Tanpa rizki-Nya mustahil kita dapat menjalankan ibadah dengan baik dan ikhlas, mustahil kita dapat berjuang untuk menegakkan syariat-Nya.
3. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, mati dalam keadaan baik di hadapan Allah, akhir kehidupan yang diridhai oleh Allah, mati tetap berpegang teguh kepada-Nya, bukan mati yang buruk, tidak diridhai oleh Allah, su’ul khatimah. Na’udlu billah min dlalik. Ingat!!!, kehidupan manusia bertahun-tahun hanya ditentukan oleh kematiannya, bila ia mati dalam keadaan khusnul khatimah, sesuai janji Allah, ia akan mendapatkan tempat Allah di surga. Namun sebaliknya, bila ia mati dalam keadaan su’ul khatimah, na’udlu bilah min dlalik, kelak tempatnya adalah di neraka.

Yakinlah, Allah akan mengabulkan doa hamba-Nya, karena Dia Maha Mendengar. Allah juga Maha Menyayangi para hamba-Nya, Karena Dia Maha Pemurah, Rahman Rahim. Oleh karena itu, sebagai seorang hamba Allah yang beriman, kita harus memanjatkan doa kepada-Nya. Manusia adalah insan yang dlo’if. Tidak berdaya, tidak mempunyai kekuatan apa-apa, hanya kekuatan Allah belaka yang mampu memberikan daya kekuatan kepada manusia. Laa haula wala quwwata illa billahil aliyyil adhim.

Assalamu'alaikum Wr Wb

Kamis, 25 Maret 2010

Foto Sonata Keramik





  • Sonata Keramik adalah sebuah toko yang khusus menyediakan berbagai macam ukuran-merek keramik dari yang murah sampai yang mahal,dari jenis keramik putih polos sampai yang motif,berbagai ukuran,dan menyediakan interior exterior rumah anda,closed jongkok,mono blok,wastavel,bat tub,kran tembok,bcp,wastavel,panas dingin,shower,tempat handuk,tempat sabun,juga semua jenis merek pumpa,pintu baja,almunium,fiber,pvc,handel pintu besar dan kecil,engsel grendel,kuku macan berbagai ukuran,lis lantai,list dinding juga panel gambar,slang fleksible segala ukuran,mesin pemanas air listri dan gas,bak cuci piring dari satu lobang sama dua lobang,dan siap melayani anda apabila ada kendala teknis lapangan,kunjungi toko kami di jl perintis kemerdekaan 97a Cilacap,pembeli adalah raja moto kami adalah " Kami Mengutamakan Kejujuran " jujur dalam penjualan mutu dan kwalitas

      Renungan Semangat Anak Muda



      oleh Mahfud Sonata (catatan) Nasehat Untuk Remaja Muslim

      Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.


      Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?

      Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:


      وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

      “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)


      Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?

      Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

      وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

      “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)


      Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.

      Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.



      Umurmu Tidak Akan Lama Lagi

      Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).

      Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

      وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

      “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)


      Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.

      Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

      يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.

      “Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)


      Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.

      Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala:

      فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ

      “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)

      Bersegeralah dalam Beramal

      Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:

      إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ

      “Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)

      Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.

      Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

      Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

      مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

      “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)

      Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?

      Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:

      لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.

      “Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)

      Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?

      Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:

      مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

      “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)

      Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.

      Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.


      Jauhi Perbuatan Maksiat

      Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.


      Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):

      إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

      “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

      Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

      وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

      “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)

      Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

      إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

      “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)

      Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.

      Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu

      Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

      Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.

      Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.

      Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.

      طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

      “Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)


      Akhir Kata

      Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr:

      وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

      “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)

      Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.

      Sumber: Buletin Al-Ilmu, Penerbit Yayasan As-Salafy Jember

      Nasehat Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’

      Pertanyaan:

      Bagaimana seorang muslim menempuh jalan keselamatan? Apa yang harus dilakukannya dalam menempuh kehidupan yang penuh dengan hal-hal yang bersifat materi ini, yang manusia sangat berlebihan dalam bergelimang padanya sehingga menyebabkan kerasnya hati-hati mereka, Wal ‘Iyadzubillah?

      Apa nasehat dan arahan anda kepada saya sebagai seorang pemuda berusia 20 tahun yang cenderung kepada dunia? Apa buku-buku yang anda nasehatkan kepada kami untuk dibaca?
      Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ menjawab:

      Wajib atas engkau untuk bertaqwa kepada Allah ta’ala, mentaati-Nya, dan mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi engkau dan menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat, menjauhi berbagai fitnah, senantiasa berbuat baik dan menghindari segala bentuk kejelekan, memperbanyak membaca Al-Qur’an disertai dengan upaya memahami maknanya, menjaga dzikir-dzikir yang shahih dan tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disertai dengan sikap rendah diri dan menghadirkan hati (khusyu’), membaca kitab (buku-buku) yang banyak terdapat di dalamnya hikmah-hikmah dan nasehat-nasehat seperti kitab Al-Fawa’id dan kitab Ad-Da’u Wad Dawa’ yang keduanya karangan Ibnul Qayyim rahimahullah, berdo’alah kepada Allah dalam sujud engkau dengan do’a-do’a yang terdapat dalam As-Sunnah disertai dengan rendah diri dan khusyu’, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan melapangkan hati engkau untuk berada di atas kebaikan, dan menjaga engkau dari segala fitnah yang nampak maupun tersembunyi.

      Dan di antara kitab-kitab yang bermanfaat adalah Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ighatsatul Lahfan yang keduanya karangan Ibnul Qayyim rahimahullah, dan juga kitab Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid, disertai dengan perhatian kepada kitab Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dan tafsri Ibni Katsir.

      وصلى الله على نبينا محمد وصحبه وسلم.

      Mengenai Saya

      Foto saya
      Cilacap, Cilacap Jawa Tengah, Indonesia
      Ya Tuhanku jadikanlah aku dan anak cucuku orang – orang yang tetap mendirikan sholat,ya Tuhanku perkenankanlah doaku , ya Tuhanku beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan seluruh orang mukmin, pada hari terjadinya hisab. saya adalah sosok yang sederhana,semoga dapat cepat beradaptasi dengan lingkungan nya..yang paling penting adalah menjaga ukhuwah sesasamanya,karena dngan hidup rukun berdampingan,kita akan merasa nyaman,dapat beraktivitas dengan tanpa harus merasa cemas,takut,ataupun lain nya,,, .......